Senin, 09 Juni 2014

Lonely Story

Semuanya terasa baru, saat melihat beberapa bungkusan hadiah-hadiah mu beberapa waktu yang lalu. Masih baru, belum tersentuh dan kurasa masih dengan aroma mu yang enggan pergi dari tumpukan barang-barang tersebut. Semuanya terasa indah.

Aku membuka lembaran-lembaran usang yang menyimpan cerita kita. Benar-benar usang, sampai aku harus meniupnya terlebih dahulu sebelum melihat senyumanmu. Terlihat manis disana, cantik, dan kau terlihat bahagia. Aku melihat deretan kebersamaan kita kala itu. Berbagai ekspresi wajah tersimpan di lembaran kertas usang yang entah berapa lama belum kusentuh itu. Semuanya terasa indah. Senyumanmu, terasa nyata.

Mengapa aku seperti ini?
Mengapa aku masih saja seperti ini?
Apa yang salah denganku?

Aku masih ingin memanggilmu 'sayang' tapi sepertinya tak mungkin. Seharusnya aku berubah, aku berjanji akan berubah lebih baik setelah ini. Aku berjanji tidak akan membiarkan air matamu terjatuh lagi.

Kau tahu, aku rindu makan bersamamu lagi
Aku rindu menonton film bersama lagi, melihat wajahmu dengan sejuta ekspresi saat melakukannya
Aku bahkan merindukan suaramu
Aku merindukan senyumanmu, suara gelak tawamu
Tapi kau tak ada
Kau tak ada sebagai temanku melakukan hal-hal itu lagi
Kau tak ada disampingku untuk melakukan hal itu bersama lagi

Seharusnya aku sadar diantara kita tak ada apa-apa lagi, benar-benar tak ada apapun lagi yang tersisa

Setiap hari, setiap ucapanku, setiap tingkah laku ku, setiap gerakan ku. Semuanya, seakan kulakukan bersamamu. Andai saja kita bisa melakukannya bersama lagi. Seandainya kita bisa bersama


Mungkin aku akan sangat senang


Lagu yang setiap hari kita dengarkan bersama, kini hanya aku yang mendengarkannya seorang diri. Berjalan-jalan ditaman, seperti yang sering kita lakukan berdua. Hari ini terasa kosong, jalan setapak ini benar-benar terasa lenggang tanpamu yang berjalan disampingku. Bahkan angin yang bertiup hari ini terasa lebih kencang daripada sebelumnya. Tentu saja tanpamu yang menggenggam erat tanganku.

Dingin...
Kosong...
Lenggang...
Hampa...

Hidupku terasa hampa tanpamu, benar-benar kosong. Aku seperti ingin mengikutimu kesana, ke tempat kau sekarang berada. Tetapi entahlah, aku tak bisa. Aku seperti orang bodoh sekarang. Benar-benar bodoh. Berusaha mengejarmu, mengejar sejauh yang aku bisa, tetapi aku seharusnya sadar bahwa pintu hatimu yang dulu terbuka lebar kini tertutup. Pintu hatimu yang dulu terang, kini gelap.

Mengapa aku masih disini?
Mengapa aku masih saja tetap disini?
Apa yang salah denganku?

Kenangan kita masih ada disana. Masih menggantung seperti asap diatas kepalaku. Entahlah, asap itu tak mau pergi. Aku tak tahu. Mungkin sama artinya denganmu yang tetap menggantung disana, tak bisa pergi. Kau benar, perpisahan tak pernah benar-benar datang kepada kita. Tetapi aku lah yang melakukan ini, melakukan semua ini hingga membuatmu pergi dariku. Aku penyebab perpisahan ini.

Sekarang aku tahu rasa sakitnya, aku tahu. Bagaimana sakitnya berjalan sendirian disini. Bernafas sendirian disini. Tanpamu...

Aku mencoba mencarimu
Aku mencoba kembali lagi
Aku mencoba memanggilmu kembali.

Tetapi seberapa sulit aku mencarimu, seberapa jauh aku kembali lagi, dan seberapa keras aku memanggilmu. Kau tak ada. Kau tak ada disana. Kau tak ada disini. Kau tak ada dimanapun. Kau benar-benar telah pergi.

Aku sadar, kita benar-benar tak ada apa-apa lagi...



Rabu, 21 Mei 2014

Seharusnya ...

Seharusnya dari awal aku tak pernah melakukan itu. Mencoba masuk dalam kehidupanmu dan bermain-main disana. Seharusnya dari awal aku tak pernah penasaran dengan kehidupanmu. Seharusnya saat kamu datang waktu itu aku mengacuhkanmu. Saat kamu tertawa dihadapanku aku tak memperhatikanmu. Dan seharusnya kini otakku tak kubiarkan untuk leluasa memikirkanmu.

Kamu adalah kamu. Dengan duniamu sendiri yang tak seluruhnya ku tahu. Dengan sikap istimewamu yang membuatku tak pernah bisa melupakannya. Dan, aku adalah aku. Yang seharusnya tak mencoba masuk dalam kehidupanmu. Yang seharusnya tak pernah berpikir mendapatkan perhatian darimu. Karena seharusnya aku sadar. Aku hanya temanmu.

Status itu terasa menyakitkanku. Aku terkatung-katung dalam anganku sendiri. Bertanya-tanya kemana arah kita selanjutnya. Haruskah aku menurunkan jangkarku untuk tetap bersama denganmu. Atau menarik layarku dan pergi dari kehidupanmu.

Sesungguhnya aku tak pernah siap pergi dari kehidupanmu. Aku seperti nelayan, dan kamu adalah ikannya. Sejauh mana pun aku pergi, aku sadar jika aku akan tetap mencarimu. Aku akan berusaha mendapatkanmu. Navigasiku hanya akan bergerak, berputar, dan berusaha menemukanmu.

Seharusnya aku tak pernah berusaha melakukan itu lagi. Datang dan pergi. Dan aku sadar aku hanya sedang berusaha menyakiti. Menyakiti kamu dan menyakiti aku sendiri. 

Seharusnya aku memang tak pernah menganggap lebih perhatianmu yang mungkin saja tak hanya kamu berikan padaku. Tak menganggap berarti setiap barisan kalimatmu yang seharusnya hanya lelucon saja. Tak berharap lebih saat kamu dengan senyuman manismu memintaku menunggumu di malam-malam sepi.

Seharusnya aku sadar sejak awal, jika aku salah telah menanggapimu lebih. Salah karena aku bukan hanya berusaha menjebak diriku sendiri dalam perasaan tak nyatamu. Aku telah membawamu ikut dalam pelayaran berbahaya ini. Mengajakmu untuk mengayuh perahu agar bisa pergi jauh. Aku telah mengajakmu bermain dalam perasaan yang tak seharusnya.

Dan sekarang, setelah semuanya terlambat. Aku hanya bisa terduduk diam. Merasa bahwa kamu membenciku. Menganggap jika kamu telah berusaha menjauhiku. Malam-malam ku hanya berisi senandung patah hati yang membuat rasa sesak ini makin menjadi. Seharusnya aku memang tak pernah mengenalmu, agar aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya air mataku mengalir di pipi begitu saja.

Tetapi aku sadar, kamu yang menggantung seperti awan, terasa nyata untuk aku gapai dalam mimpiku. Rasanya sulit mengangkat jangkar dari lautan terdalam buatanmu. Menaikkan layar ditengah angin yang menyesakkan ini. Hingga akhirnya aku sadar semua ini terasa sia-sia.

Kumohon jangan pergi

Kumohon jangan pernah menjauh lagi